Imam Al-Ghazali

TOKOH IMAM AL-GHAZALI 

Disusun oleh Haris Fatah (06040123103) 

Sosok Al-Ghazali yang dikenal luas dikalangan masyarakat hari ini bukan lah figure baru kiprahnya dalam dunia pemikiran Islam, karena begitu banyak orang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Ia memiliki nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al-Ghazali, lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak (Persia) pada tahun 450 H (1058 M) dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir, bertepatan dengan 01 Desember di negeri yang sama dengan tempat kelahirannya kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M.

Beberapa versi lain juga ada menyematkan nama lengkap beliau dengan gelar Syaikh al-ajal al-imam al-zahid, al-said al muwafaq Hujjatul Islam. Namun secara singkat, beliau seringkali disebut al-Ghazali atau Abu Hamid. 


Al-Ghazali lahir dari keluarga yang hidup ayahnya seorang pengamal tasawuf yang hidup sederhana sederhana, ia juga seorang pemintal dan penjual wol yang hasilnya kemudian digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupan sehari-hari mereka dan para fuqaha, serta orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ketika sakit keras, sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad. Menjelang wafat ayahnya berwasiat kepada Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad diserahkan kepada temannya yang dikenal dengan ahli tasawuf dan orang baik, untuk dididik dan diajari agar menjadi orang yang teguh dan pemberi nasehat. Pada mulanya Al Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal. Ketika sakit keras, sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Rozakani agar dia bersedia mengasuh al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.


Pengembaraan Al-Ghazali dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr al-Isma‟ili. Pada usia 19 atau 20 tahun, Al-Ghazali pergi ke Nisabur, dan berguru pada al-Juwayni hingga iatahun. Selama di madrasah Nisabur ini, Al-Ghazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat.


Beberapa deretan gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibnu Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramain Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An-Nizhfirniyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.

Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju ke Mu‟askar tahun 478 H., ia menetap di sini hingga didaulat menjadi salah seorang pengajar di madrasah al-Nizhamiyah tahun 484 H. Disinilah kemudian Al-Ghazali memulai capaian puncak tertinggi karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka. 


Melihat kepakaran Al-Ghazali dalam bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi “guru besar” teologi dan “rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484 H/Juli 1091 M. Jadi, saat menjadi guru besar (profesor), al-Ghazali baru berusia 34 tahun.


Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menunaikan ibadah haji, dan setelah selesai ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Thus dan di sana ia tepat seperti biasanya berkhalawat dan beribadah. Perjalanan tersebut ia lakukan selama 10 tahun yaitu; dari 498- 988 H atau 1095-1105.

Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di tempat kelahirannya ini Al-Ghazali mendirikan mendirikan Madrasah Fiqih, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum dan membangun asrama (khanaqah) untuk melatih para sufi belajar ilmu tasawuf. Di Thus ini Al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi disamping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual, sampai pada akhirnya ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun. (Ali, 1991) Beberapa catatan lain juga ada mengatakan bahwa ia tutup usia pada tanggal 18 Desember 1111 M, dalam usia 55 tahun. 


Al-Ghazali, setelah terlibat dalam berbagai studi dan perdebatan, mengalami kebingungan dan keraguan ketika menghadapi kontradiksi antara filsafat dan ajaran agama. Ia merasa terdorong untuk menyelidiki sendiri dan mencari kebenaran. Ia menghabiskan sekitar sepuluh tahun setelah meninggalkan pengajaran di Madrasah al-Nizamiyya, bepergian antara Hijaz, Syam, dan Yerusalem dengan cara yang mirip dengan perjalanan sufi, sambil membaca, meneliti, dan berdiskusi. Selama periode ini, ia mencapai pemahaman bahwa filsuf-filsuf berada dalam kesalahan dan mengkritik mereka dengan tajam melalui penulisan dan perdebatan.


Al-Ghazali menghasilkan karya ilmiah yang signifikan dari studi dan perjalanan intelektualnya, termasuk bukunya yang terkenal "Tahafut al-Falasifah" (Kepalsuan Filsafat), yang merupakan hasil dari pemikiran mendalam dan penelitian panjang mengenai isu-isu besar yang menjadi sumber konflik antara agama dan filsafat. Buku ini mencerminkan keraguan mendalam dan berhasil merespons teori "sebab dan akibat" jauh sebelum filsuf skeptis seperti David Hume.

Ia juga mendalami etika dan meninggalkan warisan ilmiah yang sangat berharga melalui bukunya "Ihya' 'Ulum al-Din" (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), yang merupakan salah satu karya terbesar dalam bidang ini.

 

Al-Ghazali meninggalkan warisan ilmiah yang sangat besar yang menempatkannya di antara ilmuwan terkemuka, baik di Timur maupun Barat. Seperti yang dinyatakan oleh De Boor, ia adalah salah satu sosok paling mengesankan dalam sejarah Islam. Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Tus, pada tahun 505 H. Ia berperan dalam reformasi pendidikan Islam dan memperkuat otoritas ulama di tengah tantangan intelektual dan spiritual.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sultan Abdul Hamid II

Ayatullah Khomeini

ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)